SINOPSIS
"Piye to kok ora bisa ditulung (bagaimana sih kok
tidak bisa ditolong)?" adalah pertanyaan Pak Harto ketika ia merasa
limbung menghadapi kenyataan baru saja kehilangan belahan jiwanya, Ibu
Tien Soeharto-istri tercinta yang puluhan tahun menemaninya mengarungi
suka dan duka, istri yang selalu mengobarkan semangatnya, menuangkan
kasih sayang, serta menguatkan hati.
Setetes air mata Pak Harto
menandai kehilangan besar yang harus diikhlaskannya hari itu, disaksikan
Profesor Dr. Satyanegara yang selanjutnya menjadi lebih sering menjaga
kesehatan Pak Harto. Demikian pula perjalanan hidup Pak Harto sejak muda
yang terekam dengan baik dalam ingatan keluarga besar, sesama kepala
negara, para menteri, ajudan, serta orang-orang yang bekerja bersamanya,
menjelaskan sisi-sisi lain karakter Pak Harto yang sangat jarang
dipublikasikan, yang selama ini tersimpan sebagai the untold stories
seorang Pak Harto.
Masih dalam kenangan mesra Pak Harto bersama
Ibu Tien, Brigjen TNI (Purn) Eddie Nalapraya, yang berpangkat kapten
ketika menjadi pengawal pribadi Pak Harto di tahun-tahun awal menjabat
Presiden RI, pernah mendapat pesan jenaka dari Ibu Tien. Ibu Negara itu
mengetuk-ngetuk jendela mobil sesaat sebelum Eddie berangkat mengawal
Pak Harto memancing ke laut lepas, "Jangan memancing ikan yang berambut
panjang ya...." Pesan canda buat sang pengawal itu membuat Pak Harto
tersenyum mendengarnya.
Sementara Profesor Dr. Emil Salim, Menteri
Lingkungan Hidup pada masa pemerintahan Pak Harto, menuturkan kisah
yang mengharukan ketika sepasukan tentara disiapkan untuk menembaki
serombongan gajah yang dilaporkan memorakporandakan kebun-kebun warga
desa transmigrasi di Lampung. Rupanya hewan-hewan besar itu keluar dari
hutan karena setiap enam bulan sekali mereka perlu berendam di laut
untuk mendapatkan garam.
"Mendengar rencana itu, Pak Harto segera
memerintahkan agar para tentara tidak menembaki kelompok gajah pada saat
mereka pulang nanti, melainkan menggiringnya melalui jalan yang
berbeda, dengan menggunakan peralatan yang bisa menghasilkan
bunyi-bunyian seperti genderang dan terompet. Maka pada perjalanan
kembali ke habitatnya di atas bukit, gajah-gajah itu tidak lagi
menghancurkan kebun dan rumah di desa transmigrasi," cerita Pak Emil.
Ide
sederhana Pak Harto ini berakhir tidak sederhana. "Setelah berhari-hari
mengawal kawanan gajah pulang ke hutan tempat tinggalnya di atas bukit,
beberapa tentara meneteskan air mata haru karena dapat merasakan
terbitnya kasih sayang di hati mereka terhadap hewan-hewan itu. Presiden
Soeharto lantas mengundang semua tentara yang bertugas dari yang
berpangkat terendah ke rumahnya di Jalan Cendana. Dengan riang Pak Harto
menyalami mereka satu per satu sebagai tanda terima kasih," cerita Pak
Emil.
Buku ini memang sarat bermuatan kisah-kisah human interest
sebagai bagian dari keseharian Pak Harto sejak muda hingga akhir
hayatnya. Kisah tentang seekor burung beo di halaman belakang yang
akhirnya menjadi salah bicara setelah Pak Harto berhenti dari jabatan
presiden, isyarat dari alam semesta mengenai akan terjadinya suatu
peristiwa duka terhadap diri Pak Harto melalui burung-burung camar yang
merontokkan bulu-bulunya memenuhi geladak kapal pada saat Pak Harto
sedang bermalam di tengah laut, bahkan kisah tentang rumor yang tidak
bertanggung jawab di seputar wafatnya Ibu Tien Soeharto, semua terpapar
gamblang apa adanya di dalam buku ini melalui penuturan 113 narasumber
yang mengalami dari dekat berbagai peristiwa suka duka di sepanjang
hidup Pak Harto.
DETAIL
Judul | Pak Harto |
Seri | |
ISBN/EAN | 9789792283433 / 9789792283433 |
Author | Mahpudi |
Publisher | Gramedia Pustaka Utama (GPU) |
Publish | 28 Juni 2012 |
Pages | 704 |
Weight | 250 gram |
Dimension (mm) | 150 x 230 |
Tag | Biografi dan Otobiografi |